Tuesday, February 05, 2008

Suatu Senja di Cipinang Muara

“Slmlkm, bang nenek meninggal, tadi usi dapet info dari bapak. Usi lagi dijalan, abis uas langsung ke rumah nenek aja” m’sister, 2 Februari 2008 12:48

“Ass. Bang rencananya nenek mau dikuburin hari ini.” depu_sandra, 2 Februari 2008 14:23

Pesan singkat terakhir membuat fokusku buyar, hatiku tidak tenang dan pikiranku berantakan, soal-soal didepan mata semakin menjadi tidak menarik. Aku harus melihat nenek, cepat selesaikan ini!, pikirku. Pukul 3 kurang 15 menit, waktu ujianpun usai , ah akhirnya… sedikit lega memang namun aku masih tetap tidak bisa menenangkan diri. Kutinggalkan Deri dan Barito, cepat-cepat aku ambil motor di parkiran, kunyalakan mesin lalu kutancap gas. Aku hampir-hampir lupa akan keselamatanku, Agus yang menumpang dibelakang dan orang lain, entah berapa orang yang dongkol atas kelakuanku membawa motor kali ini. Ah… Nenek, jangan engkau pergi dulu, cucumu ini mau melihat wajahmu untuk yang terakhir kali, ya terakhir kali di dunia ini.

Agus kuturunkan di Shelter Busway Pasar Rebo, berbincang sebentar lalu kutancap gas, lagi-lagi aku hampir lupa akan keselamatanku dan orang lain, kali ini tanpa Agus.

Sekitar pukul 4 aku sudah sampai di gang rumah nenek, di kanan kiri terlihat beberapa bendera kuning bertuliskan : Ny. Daamah binti Dasmad, Rt 04/03. Ah… Nenek jangan kau pergi dulu.

Beberapa ratus meter dari rumah Nenek aku parkirkan motorku. “Git..!”, itu suara Bapak!, dari kumpulan para pelayat aku coba mencari asal suara itu, benar Bapak. Kutemukan beliau sedang duduk diluar rumah bersama dengan para pelayat lain, pakaiannya tidak serapih tadi pagi, mungkin habis mengurus jenazah Nenek. Dengan nafas yang masih terengah-engah aku hampiri beliau, aku cium tangannya dan kutanya :

“Nenek dimana pak?”

“Lagi dimandiin, Mamah juga didalem, ikut ngemandiin Nenek”, jawab beliau.

Ya Ibuku adalah anak ke 3 Nenek dari 7 bersaudara. Alhamdulillah sahutku dalam hati, aku masih diberi kesempatan untuk melihat wajahnya.

“Gita masuk pak”, pamitku.

“Nanti dulu Git, ini om Parno”, sahut beliau sambil memegang pundak seorang pria setengah baya disebelahnya.

Kutengok pria itu, kupasang senyum simpul dan kujabat tangannya. Hmm… Om Parno, aku ingat namanya tapi sudah lupa wajahnya, mungkin lebih dari 15 tahun kami tidak bertemu. Ah… siapapun itu sudah tidak dapat menarik perhatianku lagi, aku ingin cepat-cepat masuk dan melihat Nenek. Kucoba melepas jabatanku tapi Om Parno menggenggam tanganku, dari situ aku tahu kalau dia ingin mengobrol barang sebentar. Aku duduk disebelahnya untuk menghormatinya lalu dia bertanya :

“Abis ujian dimana?”

Mungkin Bapak sudah cerita tentang keterlambatanku, “Daerah Lenteng Agung Om”, jawabku, setelah pertanyaan itu omongan-omongannya sudah tidak lagi terdengar olehku, mungkin masuk ke telinga dan diproses diotak, tapi ternyata hati menolak. Hatiku masih tidak tenang, pikiranku hanya tertuju ke dalam rumah Nenek, maafkan aku om. Kutunggu omongannya selesai, setelah itu aku pamit kedalam.

Didalam aku temukan Nenek sedang dimandikan oleh beberapa ibu-ibu, ya Ibuku memang termasuk para pemandi jenazah Nenek. Untuk sementara aku tidak bisa mendekat sambil menunggu selesainya pemandian, aku duduk di halaman samping rumah disebelah adikku yang sudah lebih awal sampai. Mungkin tidak akan ada pembicaraan kalau bukan adikku yang memulai, aku pikir dia yang lebih merasa kehilangan karena belakangan baru aku tahu kalau setiap ada pembicaraan tentang Nenek dia selalu menunjukkan perhatiannya kepada Nenek.

“Udah selesai bang ujiannya?”, tanyanya sambil menoleh ke wajahku.

“Udah”, jawabku. Dan kami kembali membisu.

Tak lama pemandian jenazah selesai, kulihat Ibuku keluar sambil membawa sebuah baskom berisi air entah untuk apa, air itu ditaruh disebelah bangku didepanku. Lengan bajunya terlihat masih terlipat sampai sikut, pun bajunya banyak terdapat bekas cipratan air. Buru-buru aku hampiri ibuku lalu kucium tangannya,

“Baru sampe Git?”, tanyanya

“Iya Mah”, jawabku

Belum sempat aku perhatikan raut muka Ibuku, beliau langsung berlalu kembali ke dalam, mungkin untuk mengkafani jenazah Nenek pikirku. Benar saja, tak lama jenazah Nenek diangkat masuk ke dalam ruang utama rumah, buru-buru aku ikut kedalam.

Didalam, para pemandi jenazah dan semua anak perempuan Nenek mengkafani jenazah Nenek dengan sangat hati-hati. Aku duduk menghadap jenazah Nenek tepat didepan kaki beliau, sesekali isak tangis aku dengar tapi itu tak mengganggu pekerjaanku untuk memperhatikan wajahnya yang sudah tak terhitung kerutannya, perhatian itu membangkitkan memoriku dimana aku, Nenek, Orang Tuaku dan saudara-saudara yang lain berkumpul. Senyumnya, tawanya, cerita-ceritanya tentang masa kecilku, segala nasihatnya yang lebih sering aku abaikan, ya Rabb perasaan apakah ini? Baru kali ini perasaan ini hamba rasakan. Apakah ini yang banyak manusia lain sebut dengan Kehilangan?, kalau benar begitu betapa kuat dua sahabatku yang kemarin hari melepas kepergian ayahanda tercinta mereka. To, Nggo... sekarang aku mengerti apa yang kalian pernah rasakan saat itu.

Didalam lamunanku dalam posisi masih menghadap jenazah Nenek aku teringat kata-kata Bang Mamun beberapa waktu yang lalu : “Menangislah, karena menangis bukan hanya milik wanita”, ah... cepat-cepat aku usir pikiran itu, aku bangkit dari dudukku lalu pergi ke kamar Nenek. Disana, memori berbeda dari beberapa bulan yang lalu bangkit, ketika aku menyuguhkan bubur kacang kepadanya, ketika beliau menyuruhku minum lalu makan dan ketika beliau mencegahku untuk tidak pulang terlalu cepat. Ah... Nenek, andai aku mengikuti perintahmu untuk menginap barang sehari disana.

Mataku masih liar menjelajahi sudut-sudut kamar beliau, diatas meja disebelah kasurnya aku temukan sebuah piring kaca berisi pisang goreng, ya Rabb ini mungkin pisang goreng yang belum sempat beliau makan tadi pagi. Mataku kembali liar, aku yakin pandanganku tidak kosong namun selama menjelajahi kamar dengan mata, yang kudapatkan hanya memori-memori yang lalu. Ya Rabb, tenangkanlah beliau, lapangkanlah kuburnya, terimalah beliau di tempat terbaikMu Ya Rabb...

Aku kembali mengikuti proses pengkafanan di ruang utama rumah, setelah selesai anak dan cucu-cucu beliau diperkenankan mencium pipi sambil berdoa. Tiba giliranku, aku cium pipi kiri nenek sambil berdoa dalam hati, “Ya Rabb tenangkanlah beliau, lapangkanlah kuburnya dan terimalah beliau di tempat terbaikMu, amin..., maafkan cucumu ini Nek...”. Alhamdulillah prosesi pemakaman berjalan lancar, tidak ada hambatan. Pemakaman selesai sekitar ½ 6, dan kami rombongan keluarga meninggalkan pemakaman untuk kembali ke rumah duka.

Manusia dengan penuh cinta kasih yang saat ini aku akui bahwa aku sayang kepadanya telah pergi. Tidak perlu ada tangisan, karena bagiku ini adalah panggilan cinta Sang Pencipta kepada makhlukNya, akupun yakin ini yang terbaik untuk Nenek. Ya Rabb beliau adalah tamuMu, sungguh Engkau adalah sebaik-baik penyuguh tamuMu ya Rabb.

Manusia : lahir, muda, tua lalu meninggal, ketika mata-mata tertutup yang diingiri dengan tangisan duka, mata-mata yang lain terbuka diiringi dengan tangisan suka, semuanya terasa begitu cepat. Aku pikir kenikmatan hidup bukan dinilai dari seberapa lama manusia itu hidup di dunia, tapi seberapa banyak manusia itu menjadi manfaat bagi sesama manusia. Dan Nenekku telah membuktikan bahwa beliau adalah manusia yang bermanfaat bagi yang lain.

Selamat jalan Nek, doa cucumu ini selalu menyertaimu.

Friday, February 01, 2008

Bagiku cinta adalah bangunan abstrak di otak. Maka segala alasan yang menahanku untuk lari dari cinta juga merupakan alasan-alasan yang bersifat abstrak. Sulit diungkapkan secara verbal atau dirangkai dengan kata-kata, namun sangat jelas tersirat dan sangat kuat tertancap di hati. Lantas apakah aku harus bersandar pada bangunan dan alasan-alasan abstrak tersebut? Entah, biar waktu yang menjawab.

"Ya muqollibal qulub, tsabit qolbi ‘ala tho’aatik, tsabit qolbi ‘ala syari’atik, tsabit qolbi ‘ala da’watik"