Skeptis Terhadap Perubahan
Malem sabtu sekitar jam 20.00, udara masih terasa dingin diluar dan rintik hujan sisa hujan deras tadi sore juga masih keliatan, di ruang tamu rumah temen gw, gw sama temen gw, Andi namanya, masih nunggu giliran buat dianter ke terminal kampung rambutan sama temen gw yang lain yang lagi nganterin 2 temen gw, kebetulan jam segitu didaerah temen gw udah gak ada angkot yang narik ke terminal, maklum persaingan antar supir angkot dan tukang ojek.
Selang beberapa waktu sambil tersenyum bangga, Andi nyodorin majalah remaja mini bulanannya ke gw, Look nama majalahnya, kebetulan dia adalah salah satu redaksi dari majalah tersebut (ada beberapa temen n orang yang gw kenal juga merupakan redaksi majalah tersebut). “Edisi Milad,” katanya. Sambil bolak-balik lembar per lembar majalah itu, gw coba buka pembicaraan ke dia tentang pandangan gw terhadap perubahan. Akhirnya gak lama kita diskusi.
Gw coba utarakan ‘sedikit’ unek-unek gw tentang pergerakan Islam di Indonesia sambil ‘gw rajut’ dengan apa yang Rasulullah lakukan pada masa Beliau. Klo boleh jujur, gw masih ngerasa skeptis terhadap pergerakan n perubahan Islam di Indonesia, disatu sisi gw ngerasa harus “ngerasa bangga n berdiri sambil bertepuk tangan”, disisi lain gw ngerasa harus “tertunduk sambil menangis” ngeliat perubahan selama ini. Gw anggap pergerakan selama ini lambat n hasilnya gak terlalu terasa, sedangkan ‘serangan’ dari luar semakin cantik dan mengalir begitu deras (bahkan sampe pada satu titik puncak terkadang kita merasa aneh, lupa bahkan ‘menyalahkan’ dengan ‘nilai-nilai’ yang benar dan seharusnya dipegang teguh, ironisnya malah terkadang kita mengagungkan ‘nilai-nilai’ asing yang merusak, dan pada akhirnya kita sering mendengar ucapan/sebutan seperti “gak gaul”, “masih kaku”, dsb.), gw juga pernah ngerasa tertekan, tertekan untuk terus berpikir bagaimana caranya membuat satu konsepsi yang cantik, gerakannya harus massive, cepat dan professional (sampe sekarang masih jadi cita-cita belaka, huff… ).
Disini gw gak berpikir/bicara tentang keunggulan/mengunggulkan suatu ras atau agama, tapi lebih kepada perubahan tatanan sosial, perubahan kepribadian individu-individu yang akhirnya menjadi masyarakat atau bahkan nation untuk menjadi lebih baik, menjadikan individu-individu yang bertingkah laku baik, jiwa sosialnya tinggi, cerdas, kreatif, beradab n yang paling penting beragama yang pada akhirnya berujung kepada masyarakat yang madani, beradab dan memiliki kebudayaan yang tinggi.
Kenapa gw bisa berpikir seperti itu? Ngerasa perlu adanya perubahan sosial?, karena yang gw rasakan saat ini adalah semakin berkembangnya gejala sosial ke arah negatif, binatang-binatang bersafari yang banyak berkeliaran di tempat ditentukannya arah pergerakan bangsa, orang-orang borjuis yang semakin gencar membangun jurang pembatas antara mereka dengan si miskin sampe semakin banyaknya muda-mudi yang lupa dengan tugas mereka sebagai calon-calon pengemban amanah bangsa, penerus bangsa. Mungkin pandangan gw terlalu sinis dan mungkin perubahan itu eksis, tapi ya emang itu yang gw rasakan saat ini, skeptis terhadap perubahan bahkan mungkin terhadap semua hal.
Disaat bara api sedang panas-panasnya Andi seolah-olah dengan tenang menyiramkan air dingin ke hati gw. Dia juga mencoba mengutarakan apa yang dia rasakan, juga pandangannya. Dia emang gak mendikte gw untuk ngeliat segala sesuatunya (apalagi pergerakan) dari prosesnya, tapi dari semua yang diutarakannya poin itu yang gw dapet. Gw kembali ngerasa sadar bahwa hasil bukanlah segala-gala-nya tapi proseslah yang membentuk segala-gala-nya, gw juga sadar bahwa selama ini yang gw pikirkan hanyalah hasil, hasil dan hasil tanpa memperdulikan proses, atau bahkan apa yang telah gw lakukan untuk mendapatkan hasil tersebut dan gw juga ngerasa musti ngerubah cara pandang gw dari ‘hasil’ ke ‘proses’.
Jadi inget lagunya Joan Baez yang Donna Donna, Stop complaining said the farmer, who told you a calf to be, why don’t you have wings to fly with, like a swallow so proud and free. Yap, gw kerjaannya jadi tukang protes selama ini tapi apa sumbangsih gw buat ‘pergerakan’(dalam hal ini ‘pergerakan menuju yang lebih baik’)?, gw rasa blum ada. Mungkin salah satu solusinya adalah ikut dengan salah satu ‘pergerakan’, tapi sampe sekarang gw masih enggan buat gabung dengan ‘pergerakan’, gw masih mau menjadi individu independen, masih mau jadi karang besar ditengah lautan. Mungkin suatu saat nanti disaat gw udah punya cukup banyak alasan atau mungkin situasi yang mendesak gw, gw akan ikut kepinggir buat gabung dengan karang-karang yang lain, insya Allah.
Gak kerasa 2 temen gw udah dateng buat ngejemput gw dan Andi, kami berduapun bangun dan siap-siap buat pulang, pamit sama orang tua temen gw lalu berangkat menuju terminal.
Cuma mau mengingatkan sekali lagi, kalau ini semua cuma curhatan belaka dari seorang anak muda yang kurang ilmu tapi mau menjadi lebih baik, jadi klo ada yang gak setuju ya silahkan ataupun ada yang mau ngasih kritikan, hayulah dengan senang hati diterima, segitu aja. Wallahuallam.
4 comments:
quoted :
"Mungkin suatu saat nanti disaat gw udah punya cukup banyak alasan atau mungkin situasi yang mendesak gw, gw akan ikut kepinggir buat gabung dengan karang-karang yang lain, insya Allah"
Sampai kapan? sampai kapan mau jadi karang?
Usul saya, jadilah tetesan air dan bergabung dalam riak gelombang. Sendiri bukan berarti tidak bisa berkontribus, hanya saja energi yang dibutuhkan terlalu besar.
Guru2 PSPB kita dulu dengan bijak mengambil contoh sapu lidi dalam tema Sumpah Pemuda setiap tahunnya. Slogannya simpel : "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh"
-with smile =)
to agung :
Makasih mas sarannya, hati saya masih setengah2 mas pun niat saya blum lurus. Minta doanya aja mas, n minta waktunya buat bisa belajar dari mas. =)
waktu "avaliable" always
Selama ga di luar kantor mah...
dan selama YM nya online
he he he
Sip, tapi klo YM nya invis mas pegimana tuh =P
Post a Comment