Malam Yang Melukis Dunia
Malam ini bintang-bintang begitu setia menemani sang sabit dan langit begitu cerah menyelimuti mereka, serasa tidak ada aura negatif malam ini dan seolah hanya keindahan yang menghiasi langit malam ini, gw merasa tenang setelah hampir setengah hari penuh melahap penatnya kehidupan, mungkin malam ini akan lebih terasa begitu tenang klo gw menyalakan beberapa lagu melankolis.
Gw duduk sebentar disamping daun pintu, gw baru sadar ternyata sejak tadi ada seekor hewan yang memperhatikan gerak-gerik gw, gw langsung mengenalinya karena hewan yang memperhatikan gw sejak tadi adalah seekor kucing yang setiap pagi selalu mengeong untuk meminta makan. Ada yang aneh dari kucing itu, dia sendirian, gak biasanya dia begitu, biasanya dia selalu bertiga dengan saudara kandungnya. Kucing itu menatap gw, gw bales menatap, gw perhatikan matanya, yang gw rasakan adalah rasa sepi dari kucing itu, gw juga mulai melihat keadaan-keadaan imajiner darinya, sendiri ditengah malam yang sepi.
Perasaan yang kontradiktif hampir bersamaan menyelinap dihati gw malam ini, ketika gw menatap langit yang begitu luas ketika itu juga gw ngerasa kalau kehidupan adalah kebahagiaan gw, gw rasa gw harus terbang menggapai langit, tapi ternyata gw egois, gw mau menggapai langit yang begitu jauh dengan melupakan kucing yang ada didekat gw yang sedari tadi memperhatikan gw, yang merasa kesepian dengan malamnya atau mungkin dengan kehidupannya. Seharusnya gw belajar banyak dari kucing, dia, si kucing yang mungkin tiap malam merasakan kesendirian sekaligus merasakan luasnya langit tidak pernah mengeluh dengan apa yang dia alami apalagi berharap untuk “meminjam” sayap dari sang burung. Dia lebih suka memperhatikan makhluk “didekatnya” daripada terus berimajinasi bersama luasnya langit. Sedangkan gw yang diperhatikan si kucing hampir melupakan keberadaannya.
Kehidupan di Dunia terasa begitu indah, kita setiap hari terobsesi untuk menggapainya, dengan penuh semangat kita mengejarnya, sayangnya kalau sudah dapat kita gapai kehidupan ini seakan kita sia-siakan seolah kita tidak memiliki manfaat bagi makhluk lain yang begitu setia “menemani” kehidupan kita, padahal kita adalah makhluk sosio kalau kata guru PPKN, entah apa sebagian dari kita mengerti makna itu atau tidak. Jutaan gaji bulanan kita, kita sia-siakan untuk hura-hura, beli ini beli itu, padahal 2,5% dari pendapatan kita adalah milik kaum dhuafa, kita selalu memilih untuk makan makanan yang harganya diatas rata-rata, padahal di pinggir-pinggir jalan kota ini masih banyak kaum dhuafa yang setiap hari merintih kesakitan karena “berpuasa”. Kita juga selalu menyalurkan uang kita untuk membeli kebutuhan tersier yang kurang begitu penting, upgrade PC atau bahkan ganti handphone ke versi terbaru, padahal di beberapa sudut kota masih banyak anak-anak kecil yang berusaha bekerja untuk membeli buku-buku pelajaran.
Kita seharusnya berusaha merasakan posisi mereka agar kita sadar bahwa mereka itu eksis, toh tidak ada salahnya memposisikan diri kita menjadi mereka, coba rasakan bagaimana rasanya menjadi ibu-ibu tua yang setiap hari menyapu jalanan hanya untuk menukarnya dengan makan siangnya, sedang untuk makan malamnya, mungkin “berpuasa”. Jangan lupa juga untuk merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang ayah yang tiap hari harus bergelut dengan sampah padahal imbalannya tidak seberapa, sedangkan istrinya dirumah mencoba menenangkan anak-anaknya untuk bersabar sedikit untuk menunggu ayahnya pulang dan berharap ayahnya itu membawa makanan, sekedar mengganjal perut untuk hari ini.
Mungkin sebagian dari kita akan bertanya apa manfaatnya memposisikan diri sebagai mereka, toh nasib mereka sudah seperti itu dan juga mereka mungkin tidak berusaha. Gw rasa kita salah kalau bersikap seperti itu, sepertinya kita terlalu egois? Gw rasa enggak, kita terlalu jahat tepatnya, kalau sudah begitu seharusnya kita bertanya kepada diri kita pribadi “ada apa dengan hati ini?, hati ini begitu keras, begitu sulit untuk berbagi, lantas apa manfaat saya hidup berdampingan dengan sesama makhluk didunia ini?.”
Kita sebagai kaum yang “lebih beruntung” seharusnya berterima kasih banyak kepada mereka, kaum dhuafa yang senantiasa pada posisinya mengingatkan kita untuk berzakat, membersihkan harta kita, atau bahkan memberikan peluang kepada kita untuk beramal, menjadikan diri ini lebih bermanfaat bagi orang lain, berkaca kepada mereka, menebar kebaikan dan mengingatkan kita bahwa kita adalah makhluk sosio. Ya, seharusnya kita berterima kasih kepada mereka, entah dengan cara seperti apa, itu interpretasi kita masing-masing.
Menutup malam yang penuh makna ini gw berharap gw tidak lagi menjadi makhluk yang selalu menatap langit dan selalu ingin menggapainya dengan melupakan sang kucing, ya, malam ini gw harus memberi makan sang kucing. Wallahuallam.
6 comments:
seeph.. sadarnya udah.. tinggal tindakannya aja dech..
ganbateee.............
to rianPrasetiadi :
Sep, semangat!!
Gw di overlap :D, biasanya yang gw yang pertama komen :P...
Gw sbenernya aga' bingung yat, baca postingan lo kalo ini. Kayanya ada kesan puitis, tapi ga bisa keluar gitu. jadi kesan nya maksa :D. (Ni kesan pribadi pas gw baca lho).
Terus... Hmmm, apalagi yah. Sgini dulu aja deh :D. Baru sgini yang kepikiran.
Hehe, maklum va blog ece2 =D, thx ya dah komen ;)
kucing inspirative :)
ada saat nya klo kita harus melihat "langit", dan ada saatnya jg klo kita jg harus melihat....."kucing" :). tergantung sih.....
terus menulis ya.
best regards, terus hidup.
to anonymous :
semoga gw lebih suka melihat "kucing" daripada "langit", biar ga "terbang" terlalu tinggi. Amin.
tengkyu komennya.
Post a Comment