Thursday, October 04, 2007

Asas Tunggal : Manifestasi Ketidakmampuan

Wacana asas tunggal pancasila sebagai satu-satunya asas bagi partai politik baru-baru ini dihembuskan, pelopornya fraksi-fraksi dari 3 partai besar di DPR, antara lain Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Partai Demokrat. Banyak parpol, ormas maupun individu yang melontarkan pendapatnya tentang wacana tersebut. HMI menyebut bahwa asas tunggal sebagai teror konsolidasi demokrasi, sedangkan Bursah Zarnubi dari FPBR menilai penyeragaman tersebut akan mengkhianati Reformasi.

Gw setuju dengan 2 penilaian diatas, penyeragaman asas tunggal sama halnya dengan mengebiri demokrasi, jangan sampai demokrasi yang mulai merangkak naik pamor setelah reformasi dibabat habis secara sistematis begitu saja dengan disahkannya wacana tersebut. Terlalu banyak pendapat yang sudah mewakili pendapat gw, sehingga pada tulisan kali ini sengaja gw tinggalkan pendekatan secara eksternal dan gw coba menilai wacana tersebut dengan pendekatan internal.

Sebelum wacana ini dihembuskan tentunya masih segar dalam ingatan kita dengan adanya deklarasi konsolidasi 2 partai besar, PDI Perjuangan dan Golkar, selanjutnya kita juga pasti masih ingat bagaimana 20 partai yang banyak diantaranya duduk partai-partai besar seperti PDI Perjuangan, Golkar maupun Partai Demokrat “bersatu menghadang” satu partai yaitu PK Sejahtera pada Pilkada lalu. Bagaimana penilaian pembaca terhadap 3 momen yang terjadi secara berurutan tersebut itu terserah pembaca, yang jelas pada momen awal ketika terjadi konsolidasi antar Partai Golkar dan PDI Perjuangan gw udah merasa sinis dengan tindak tanduk mereka.

Sekarang partai-partai politik baru berbasis agama semakin kuat, masyarakat yang mendukung maupun sekedar memilih tersihir dengan militansi dan kharisma kader-kader partai yang mereka pilih, dengan program kerja yang ditawarkan sekaligus implementasinya, juga dengan kerja-kerja riil yang kader-kader partai tersebut lakukan, dengan demikian dapat dipastikan bahwa masyarakat sudah semakin pintar dalam memilih pilihan. Lantas bagaimana dengan partai-partai besar yang masih memiliki massa yang banyak (gw heran kenapa masih banyak?, mungkin cuma masalah presentasi publik kali ya?) ?, jawabannya kelabakan. Fenomena tersebut, bagi gw merupakan tantangan buat partai-partai besar itu (jangan malah dianggap sebagai ancaman), jawaban yang mereka keluarkan akan mewakili akuntabilitas kader-kader politiknya, sehingga apabila jawaban yang mereka keluarkan tidak memiliki nilai yang berkualitas maka (seharusnya) reputasi parpol tersebut jatuh (tergantung bagaimana masyarakat menilainya).

Seharusnya parpol-parpol besar tersebut menjawabnya dengan konsolidasi kedalam tubuh partai, apakah kader-kader politiknya sudah akuntabel atau belum, itu salah satu persoalan yang wajib dijawab dan diselesaikan. Sayangnya tantangan tersebut dijawab dengan cara usang, mencoba memainkan regulasi yang ada dan membuat regulasi baru yang represif. Tantangan tersebut seharusnya menjadi bahan introspeksi dalam tubuh partai, reformasi bila perlu, menjadikan tantangan tersebut sebagai motivasi untuk mendidik kader-kader politik yang valuable, memiliki kualitas tinggi dan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang bangsa ini hadapi. Memalukan apabila tantangan tersebut dijawab dengan cara-cara diatas, seolah wacana yang mereka hembuskan adalah manifestasi ketidakmampuan mereka untuk bersaing dalam kompetisi politik di negara ini.

Andai saja mereka menjawab tantangan diatas dengan gentle, intelek dan bersih tentunya, maka gw rasa panggung demokrasi akan semakin semarak, semakin penuh warna-warni politik. Setiap parpol menawarkan program kerja dan platform politik masing-masing, masyarakat tinggal memilih parpol mana yang mereka percayai. Dengan cara fairplay seperti itu parpol yang akuntabel, valuable dan solutif akan semakin kuat, sedangkan parpol yang “lemah” dan “tidak bisa bertahan” akan tersingkir dengan sendirinya, sehingga dengan demikian semakin besar pula peluang untuk menyelesaikan permasalahan bangsa ini karena karena kader-kader politik yang pada akhirnya akan duduk di parlemen memiliki akuntabilitas dan kualitas yang tinggi.

Penyeragaman ideologi apabila terlaksana setidaknya akan mengangkat trauma masa lalu ketika jaman orde baru, kita tentu masih ingat dengan kejadian Talangsari maupun kejadian Tanjung Priok. Menurut gw udah gak menarik lagi cara-cara represif seperti itu, orsospol maupun instansi masyarakat seharusnya diberi ruang gerak lebih luas sehingga mereka bisa lebih berkarya dalam mencari solusi permasalahan bangsa ini (tentunya dalam aturan-aturan yang sesuai dengan UU), bukan dengan penindasan sistematis seperti itu, memang dipermukaan terlihat semuanya lancar, aman dan terkendali namun bila kita melihat kebawah maka kita akan mendapat jawaban, “ini hanya akan menjadi bom waktu yang pada akhirnya akan terjadi clash yang disebabkan tidak adanya corong-corong yang diperlukan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat”.

Sekali lagi gw tegaskan bahwa fenomena politik saat ini harus dijadikan tantangan bagi parpol-parpol besar yang ada dan harus diamini secara positif (bukan dengan cara-cara seperti diatas) apabila parpol-parpol tersebut ingin tetap eksis dalam panggung politik di negeri ini. Dan tentunya kita harus tetap belajar dari sejarah. Wallahuallam.

4 comments:

rianPrasetiadi said...

klo kata gw sih y,,,, [sok mode ON] yg namanya repotnasi eh reformasi blum sepenuhnya jalan alias gagal kali yach,,,, selama masih ada partai2x besar dari jaman ORBA ntuh....CMMIW

hdytsgt said...

to rianPrasetiadi :
Setuju!!

Djitoh said...

bisa dipersingkat dan diterjemahkan ke dalem bahasa yang mudah gua cerna??

maklum otaknye ngga nyampe..

But, smangat lah bro

hdytsgt said...

to the-jitoh :
intinya gw kecewa sama parpol besar yang ngangkat isu asas tunggal to, itu ajah. ;)